REFORMASI PEREKONOMIAN INDONESIA
Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih
baik secara konstitusional. Artinya, adanya perubahan kehidupan dalam
bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya yang lebih baik,
demokratis berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan.
Gerakan reformasi lahir sebagai jawaban atas krisis yang melanda
berbagai segi kehidupan. Krisis politik, ekonomi, hukum, dan krisis
sosial merupakan faktorfaktor yang mendorong lahirnya gerakan reformasi.
Bahkan, krisis kepercayaan telah menjadi salah satu indikator yang
menentukan. Reformasi dipandang sebagai gerakan yang tidak boleh
ditawar- tawar lagi dan karena itu, hampir seluruh rakyat Indonesia
mendukung sepenuhnya gerakan reformasi tersebut.
Dengan semangat reformasi, rakyat Indonesia menghendaki adanya
pergantian kepemimpinan nasional sebagai langkah awal menuju terwujudnya
masyarakat yang adil dan makmur. Pergantian kepemimpinan nasional
diharapkan dapat memperbaiki kehidupan politik, ekonomi, hukum, sosial,
dan budaya. Indoenesia harus dipimpin oleh orang yang memiliki
kepedulian terhadap kesulitan dan penderitaan rakyat.
A. Krisis finansial Asia
Krisis moneter yang melanda Negara-negara di Asia Tenggara sejak bulan
Juli 1996, juga mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia.
Ekonomi Indonesia ternyata belum mampu untuk menghadapi krisi global
tersebut. Krisi ekonomi Indonesia berawal dari melemahnya nilai tukar
rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
Ketika nilai tukar rupiah semakin melemah, maka pertumbuhan ekonomi
Indonesia menjadi 0% dan berakibat pada iklim bisnis yang semakin
bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami keterpurukan yaitu
dengan dilikuidasainya sejumlah bank pada akhir tahun 1997. Sementara
itu untuk membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (KLBI). Ternyata udaha yang dilakukan
pemerintah ini tidak dapat memberikan hasil, karena pinjaman bank-bank
bermasalah tersebut semakin bertambah besar dan tidak dapat di
kembalikan begitu saja.
Krisis moneter tidak hanya menimbulkan kesulitan keuangan Negara, tetapi juga telah menghancurkan keuangan nasional.
Memasuki tahun anggaran 1998 / 1999, krisis moneter telah mempengaruhi
aktivitas ekonomi yang lainnya. Kondisi perekonomian semakin memburuk,
karena pada akhir tahun 1997 persedian sembilan bahan pokok sembako di
pasaran mulai menipis. Hal ini menyebabkan harga-harga barang naik tidak
terkendali. Kelaparan dan kekurangan makanan mulai melanda masyarakat.
Untuk mengatasi kesulitan moneter, pemerintah meminta bantuan IMF.
Namun, kucuran dana dari IMF yang sangat di harapkan oleh pemerintah
belum terelisasi, walaupun pada 15 januari 1998 Indonesia telah
menandatangani 50 butir kesepakatan (letter of intent atau Lol) dengan
IMF.
Faktor lain yang menyebabkan krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak terlepas dari masalah utang luar negeri.
Utang Luar Negeri Indonesia Utang luar negeri Indonesia menjadi salah
satu faktor penyebab munculnya krisis ekonomi. Namun, utang luar negeri
Indonesia tidak sepenuhnya merupakan utang Negara, tetapi sebagian lagi
merupakan utang swasta. Utang yang menjadi tanggungan Negara hingga 6
februari 1998 mencapai 63,462 miliar dollar Amerika Serikat, utang pihak
swasta mencapai 73,962 miliar dollar Amerika Serikat.
Akibat dari utang-utang tersebut maka kepercayaan luar negeri terhadap
Indonesia semakin menipis. Keadaan seperti ini juga dipengaruhi oleh
keadaan perbankan di Indonesia yang di anggap tidak sehat karena adanya
kolusi dan korupsi serta tingginya kredit macet.
Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945 Pemerintah Orde Baru mempunyai tujuan
menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai Negara industri, namun
tidak mempertimbangkan kondisi riil di masyarakat. Masyarakat Indonesia
merupakan sebuah masyarakat agrasis dan tingkat pendidikan yang masih
rendah.
Sementara itu, pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru
sudah jauh menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila. Dalam Pasal 33
UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan
oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota
masyarakat. Sebaliknya, sistem ekonomi yang berkembang pada masa
pemerintahan Orde Baru adalah sistem ekonomi kapitalis yang dikuasai
oleh para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli, oligopoly, dan
diwarnai dengan korupsi dan kolusi.
Pola Pemerintahan Sentralistis Sistem pemerintahan yang dilaksanakan
oleh pemerintah Orde Baru bersifat sentralistis. Di dalam pelaksanaan
pola pemerintahan sentralistis ini semua bidang kehidupan berbangsa dan
bernegara diatur secara sentral dari pusat pemerintah yakni di Jakarta.
Pelaksanaan politik sentralisasi yang sangat menyolok terlihat pada
bidang ekonomi. Ini terlihat dari sebagian besar kekayaan dari
daerah-daerah diangkut ke pusat. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan
pemerintah dan rakyat di daerah terhadap pemerintah pusat. Politik
sentralisasi ini juga dapat dilihat dari pola pemberitaan pers yang
bersifat Jakarta-sentris, karena pemberitaan yang berasala dari Jakarta
selalu menjadi berita utama. Namun peristiwa yang terjadi di daerah yang
kurang kaitannya dengan kepentingan pusat biasanya kalah bersaing
dengan berita-barita yang terjadi di Jakarta dalam merebut ruang,
halaman, walaupun yang memberitakan itu pers daerah.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi, seperti:
1) Hutang luar negeri
Indonesia yang sangat besar menjadi penyebab terjadinyakrisis ekonomi.
Meskipun, hutang itu bukan sepenuhnya hutang negara, tetapisangat besar
pengaruhnya terhadap upaya-upaya untuk mengatasi krisis ekonomi.
2) Industrialisasi
pemerintah Orde Baru ingin menjadikan negara RI sebagai negaraindustri.
Keinginan itu tidak sesuai dengan kondisi nyata masyarakat
Indonesia.Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat agraris
dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah (rata-rata).
3) Pemerintahan Sentralistik
pemerintahan Orde Baru sangat sentralistik sifatnyasehingga semua
kebijakan ditentukan dari Jakarta. Oleh karena itu, peranan pemerintah
pusat sangat menentukan dan pemerintah daerah hanya sebagaikepanjangan
tangan pemerintah pusat
B. Kebijaksanaan Pemerintah Mengatasi Krisis
Krisis ekonomi dengan berbagai dampak negatif sebagaimana telah
diuraikan di atas, secara serius telah diupayakan untuk diatasi dengan
melaksanakan kebijaksanaan ekonomi baik yang bersifat makro maupun
mikro. Dalam jangka pendek kebijaksanaan ekonomi tersebut memiliki dua
sasaran strategis, yaitu pertama, mengurangi dampak negatif dari krisis
tersebut terhadap kelompok penduduk berpendapatan rendah dan rentan; dan
kedua, pemulihan pembangunan ekonomi ke jalur petumbuhan yang tinggi.
Kedua tugas tersebut sangat penting antara lain karena:
1. Meluasnya pengangguran akibat krisis yang terjadi di satu pihak
dapat memicu timbulnya kerusuhan sosial, sementara di lain pihak
apabila berlangsung lama dapat menurunkan daya saing angkatan kerja,
karena mereka tidak mampu lagi menguasai perkembangan ketrampilan baru
yang sangat diperlukan.
2. Kapasitas produksi baik pada industri pengolahan maupun sarana
dan prasarana pengangkutan, komunikasi, serta energi yang menganggur
tanpa pemeliharaan yang baik akan menjadi rusak.
3. Meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok dan barang-barang
lainnya secara berlanjut, pada gilirannya akan menambah jumlah penduduk
miskin karena daya beli mereka akan terus merosot.
4. Kemunduran dalam pelaksanaan program pendidikan dan kesehatan
terutama bagi putraputri penduduk berpendapatan rendah, akan mengganggu
upaya pemberdayaan kelompok penduduk tersebut di masa datang.
1. Kebijaksanaan Ekonomi Makro
Kebijaksanaan ekonomi makro yang telah dilaksanakan pemerintah dalam
upaya menekan laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap
valuta asing adalah melalui kebijaksanaan moneter yang ketat disertai
anggaran berimbang, dengan membatasi deficit anggaran sampai pada
tingkat yang dapat diimbangi dengan tambahan dana dari luar negeri.
Kebijaksanaan moneter yang ketat dengan tingkat bunga yang tinggi selain
dimaksudkan untuk menekan laju inflasi dan memperkuat nilai tukar
rupiah terhadap valuta asing, dengan menahan naiknya permintaan
aggregat, juga untuk mendorong masyarakat meningkatkan tabungan di
sektor perbankan.
Meskipun demikian pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa tingkat bunga
tinggi dapat menjadi salah satu faktor terpenting yang akan berdampak
negatif terhadap kegiatan ekonomi atau bersifat kontraktif terhadap
perkembangan PDB. Oleh karena itu tingkat bunga yang tinggi tidak akan
selamanya dipertahankan, tetapi secara bertahap akan diturunkan pada
tingkat yang wajar seiring dengan menurunnya laju inflasi.
2. Kebijaksanaan Ekonomi Mikro
Kebijaksanaan ekonomi mikro yang ditempuh pemerintah, ditujukan, antara lain:
a. untuk mengurangi dampak negatif dari krisis ekonomi terhadap
kelompok penduduk berpendapatan rendah dikembangkannya jaring pengaman
sosial yang meliputi program penyediaan kebutuhan pokok dengan harga
terjangkau, mempertahankan tingkat pelayanan pendidikan dan kesehatan
pada tingkat sebelum krisis serta penanganan pengangguran dalam upaya
mempertahankan daya beli kelompok masyarakat berpendapatan rendah;
b. sistem perbankan dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan lembaga perbankan;
c. merestrukturisasi hutang luar negeri;
d. mereformasi struktural di sektor riil; dan
e. mendorong ekspor.
a) Jaring Pengaman Sosial
Dalam kaitan ini berbagai langkah telah dilakukan untuk menambah alokasi
anggaran rutin (khususnya untuk subsidi bahan bakar minyak, listrik dan
berbagai jenis makanan kebutuhan pokok), mempertajam prioritas alokasi
dan meningkatkan efisiensi anggaran pembangunan.
Hal ini dilakukan melalui peninjauan kembali terhadap program dan kegiatan proyek pembangunan, antara lain, dengan:
1. menunda proyek-proyek dan kegiatan pembangunan yang belum mendesak;
2. melakukan realokasi dan menyediakan tambahan anggaran untuk bidang pendidikan dan kesehatan;
3. memperluas penciptaan kerja dan kesempatan kerja bagi mereka
yang kehilangan pekerjaan, yang dikaitkan dengan peningkatan produksi
bahan makanan serta perbaikan dan pemeliharaan prasarana ekonomi,
misalnya jalan dan irigasi, yang dapat memperlancar kegiatan ekonomi;
dan
4. memperbaiki sistem distribusi agar berfungsi secara penuh dan
efisien yang sekaligus meningkatkan partisipasi peranan pengusaha kecil,
menengah, dan koperasi.
Sebagai akibat dari peninjauan kembali seluruh program dan kegiatan
proyek pembangunan, total anggaran dalam revisi APBN untuk sektor
pertanian, pengairan, perdagangan dan pengembangan usaha, pembangunan
daerah, pendidikan, kesehatan, perumahan dan permukiman, dalam tahun
anggaran 1998/99 tidak hanya mengalami peningkatan yang cukup besar
dibandingkan dengan APBN sebelum revisi, tapi secara riil juga lebih
besar dari realisasi anggaran pembangunan tahun 1997/98, sedangkan
alokasi anggaran pembangunan untuk sektor lainnya secara riil mengalami
penurunan.
Implikasi dari pelaksanaan program jaring pengaman sosial yang disertai langkah
penyesuaian untuk mempertajam prioritas alokasi dan peningkatan efisiensi anggaran
pembangunan, pemerintah tidak dapat menghindari terjadinya defisit yang sangat besar,
lebih kurang 8,5 persen terhadap PDB, dalam revisi APBN 1998/99. Hal ini
disebabkan oleh karena penerimaan dalam negeri dalam kondisi kontraksi
PDB serta menurunnya harga migas di pasar internasional sangat sulit
untuk dapat ditingkatkan, walaupun sudah termasuk adanya divestasi dalam
BUMN.
Pemerintah sangat menyadari bahwa defisit APBN sebesar 8,5 persen
terhadap PDB tidak sustainable, itulah sebabnya akan diupayakan untuk
menurunkannya minimal menjadi setengahnya pada tahun 1999/2000 dan
mengembalikan anggaran menjadi berimbang dalam jangka waktu 3 tahun.
Sehubungan dengan ini akan terus dikaji langkah-langkah untuk menetapkan
pemberian subsidi yang lebih tepat dan pelaksanaan program lain dalam
kerangka jaring pengaman sosial. Pemantauan dan evaluasi program
penciptaan lapangan kerja serta program di bidang pendidikan dan
kesehatan akan terus disempurnakan agar dapat dipastikan bahwa yang
memperoleh manfaat terutama adalah penduduk miskin.
Di samping itu peningkatan kinerja penerimaan negara dan manajemen
pengeluaran Negara akan merupakan unsur terpenting dalam upaya menekan
defisit anggaran. Dalam kaitannya dengan upaya memperkuat manajemen
pengeluaran, akan disusun kerangka prioritas dalam pengeluaran negara
yang lebih jelas, persiapan penyusunan anggaran yang lebih efisien,
kontrol manajemen kas, serta penyusunan laporan yang komprehensif,
akurat dan tepat waktu.
Penerimaan negara dari perpajakan diupayakan untuk ditingkatkan dengan
menghilangkan berbagai bentuk pengecualian terhadap pengenaan pajak
pertambahan nilai; meningkatkan nilai jual objek pajak atas PBB (pajak
bumi dan bangunan) sektor perkebunan dan kehutanan serta meningkatkan
pendapatan pajak bukan migas melalui peningkatan cakupan audit tahunan,
penyempurnaan program audit PPN dan peningkatan penerimaan tunggakan
pajak. Sementara itu upaya meningkatkan penerimaan bukan pajak mencakup
pengumpulan dana oleh pemerintah di luar anggaran serta meningkatkan
kinerja BUMN dengan privatisasi dan peningkatan dalam manajemennya.
b) Penyehatan Sistem Perbankan
Untuk menggerakkan kembali roda perekonomian dan memulihkan
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional, langkah-langkah
mendasar dari kebijakan penyehatan dan restrukturisasi perbankan pada
dasarnya terdiri dari dua kebijakan pokok, yaitu:
1. Kebijakan untuk membangun kembali sistem perbankan yang sehat
guna mendukung pemulihan dan kebangkitan perekonomian nasional melalui:
a. program peningkatan permodalan bank,
b. penyempurnaan peraturan perundang-undangan, antara lain, mencakup:
1. perizinan bank yang semula merupakan wewenang Departemen Kuangan dialihkan kepada Bank Indonesia.
2. investor asing diberikan kesempatan yang lebih besar untuk menjadi pemegang saham bank.
3. rahasia bank yang semula mencakup sisi aktiva dan pasiva diubah menjadi hanya mencakup nasabah penyimpan dan simpanannya.
c. penyempurnaan dan penegakkan ketentuan kehati-hatian, antara lain:
i. Bank-bank diwajibkan untuk menyediakan modal
minimum (Capital Adequacy Ratio) sebesar 4% pada akhir tahun 1998, 8%
pada akhir tahun 1999, dan 10% pada akhir tahun 2000, sebagaimana telah
diumumkan pemerintah pada bulan Juni 1998.
ii. Melakukan tindakan hukum yang lebih tegas terhadap
pemilik dan pengurus bank yang terbukti telah melanggar ketentuan yang
berlaku.
2. Kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan perbankan yang telah
terjadi dengan mempercepat pelaksanaan penyehatan perbankan.
Langkah-langkah yang telah dan akan ditempuh dalam rangka mendukung
pemulihan ekonomi, membangun kembali sistem perbankan yang sehat, dan
memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, antara lain,
meliputi:
a. Pemberian jaminan pembayaran kepada deposan dan kreditur;
b. pembentukan Badan Penyehatan. Perbankan Nasional (BPPN) yang
bertugas untuk melakukan restrukturisasi bank-bank yang kurang atau
tidak sehat;
c. melakukan due diligence terhadap bank-bank yang diambil alih pengelolaannya dan terhadap bank-bank lainnya; dan
d. menyusun RUU perbankan yang akan mengatur kembali ketentuan
mengenai kerahasian bank, pengawasan, pemilikan investor asing, dan
kedudukan BPPN serta bank sentral.
Dengan kebijaksanaan tersebut di atas diharapkan kinerja perbankan nasional menjadi
lebih sehat dan efisien sehingga terpercaya serta mampu menjadi bank yang dikelola
secara profesional terutama dalam menghadapi era globalisasi yang menuntut daya
saing tinggi.
c) Restrukturisasi Hutang Luar Negeri
Hutang luar negeri swasta dan pinjaman antar bank-bank yang besar
telah menjadi penyebab terpenting terhadap melemahnya nilai tukar
rupiah. Hutang-hutang tersebut dalam tahun 1998/1999 akan jatuh tempo
dalam jumlah yang besar. Padahal melemahnya nilai tukar rupiah yang
terus berlanjut akan semakin memperburuk kondisi perekonomian nasional.
Oleh karena itu untuk mengurangi permintaan terhadap mata uang asing dan
sekaligus memberi kesempatan kepada para debitur untuk menyelesaikan
hutang-hutangnya, dalam kesepakatan Frankfrut tanggal 4 Juni 1998, telah
disusun kerangka restrukturisasi hutang dunia usaha, skema penyelesaian
hutang antar bank dan pengaturan tentang fasilitas pembiayaan
perdagangan.
Dalam kesepakatan tersebut para kreditur dan debitur secara sukarela
dapat menyepakati jumlah hutang dan perubahan pinjaman menjadi equity,
dan ada persyaratan minimal masa pengembalian 8 tahun termasuk masa
tenggang 3 tahun, maka dilihat dari upaya penguatan nilai tukar rupiah
terhadap valuta asing, berarti restrukturisasi hutang swasta dan
perbankan tersebut minimal dapat mengurangi permintaan valuta asing
selama 3 tahun. Untuk mendorong penyelesaian hutang swasta telah
diluncurkan Prakarsa Jakarta yang memungkinkan para kreditur dan debitur
menyelesaikan hutang piutang di luar pengadilan niaga, yaitu melalui
restrukturisasi modal perusahaan.
Restrukturisasi hutang luar negeri swasta dan pinjaman antar bank di
Indonesia serta penambahan dana luar negeri baik yang berasal dari CGI
maupun tambahan dana dari IMF telah dapat meningkatkan sisi penyediaan
valuta asing. Sebagai konsekuensi interaksi antara naiknya persediaan
dengan turunnya permintaan valuta asing tersebut diharapkan dapat
menguatkan nilai tukar rupiah, yang pada gilirannya juga akan menurunkan
laju inflasi. Untuk kepentingan itulah dan untuk menarik modal asing
masuk ke Indonesia maka pemerintah hingga saat ini masih mempertahankan
kebijaksanaan lalulintas devisa dengan sistem devisa bebas.
Sementara itu untuk mengurangi tekanan terhadap keuangan negara dan
neraca pembayaran luar negeri, melalui Paris Club, Indonesia telah
melakukan penjadwalan kembali hutang pemerintah untuk tahun 1998/1999 –
1999/2000. Dalam rangka itu pemerintah telah berhasil menunda pembayaran
cicilan pokok sebesar US dollar 4,2 miliar.
d) Reformasi Struktural di Sektor Riil
Agar perekonomian, terutama sektor riil dapat berkembang lebih
efisien, pemerintah melancarkan berbagai program reformasi struktural.
Reformasi struktural di sektor riil mencakup:
a. penghapusan berbagai praktek monopoli,
b. deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang, termasuk
bidang perdagangan dalam dan luar negeri dan bidang investasi, dan
c. privatisasi BUMN.
Meskipun perekonomian nasional sebelum krisis ekonomi mengalami
pertumbuhan yang cukup tinggi, tetapi ternyata terdapat
kelemahan-kelemahan, antara lain, adanya praktek praktek monopoli di
berbagai bidang usaha. Dengan praktek-praktek monopoli telah terjadi
konsentrasi kekuatan pasar hanya pada satu atau beberapa pelaku usaha,
sehingga kegiatan produksi, distribusi menjadi tidak efisien dan secara
lebih luas daya saing perekonomian nasional menjadi lemah.
Kebijaksanaan penghapusan monopoli yang telah dan akan dilakukan, antara
lain adalah: penghapusan monopoli yang dilakukan oleh Bulog dalam
mengimpor dan penyaluran barang-barang kebutuhan pokok masyarakat
seperti minyak goreng, gula pasir, terigu, dan jagung, sehingga Bulog
hanya akan menyalurkan beras; penghapusan BPPC; penghapusan kegiatan
usaha yang terintegrasi secara vertikal atau horizontal, monopoli
produksi minyak pelumas oleh Pertamina dan lain-lain. Dalam upaya
menghapus monopoli tersebut pemerintah telah mengajukan ke DPR RUU
tentang persaingan yang sehat. Dengan adanya penghapusan monopoli
diharapkan ekonomi biaya tinggi bisa dihindarkan sehingga bisa
meningkatkan daya saing perekonomian nasional.
Dengan hapusnya monopoli, masyarakat juga diuntungkan sebab akan memperoleh
barang dengan kualitas yang lebih baik dengan harga yang lebih murah.
Dalam kaitannya dengan deregulasi dan debirokratisasi di berbagai
bidang, antara lain, mencakup:
a. mencabut peraturan yang membatasi kepemilikan investor asing
sampai 49 persen dari perusahaan-perusahaan yang telah terdaftar pada
pasar modal;
b. merevisi daftar negatif investasi dengan pengurangan jumlah bidang usaha yang tertutup bagi investor asing;
c. mencabut pembatasan investasi asing dalam perkebunan kelapa
sawit, dalam perdagangan eceran dan dalam perdagangan besar;
d. mencabut ketentuan tataniaga yang bersifat restriktif untuk pemasaran semen, kertas dan kayu lapis;
e. menghapus harga patokan semen (HPS); dan
f. menerapkan perdagangan bebas lintas batas Dati I dan Dati II
untuk semua komoditas termasuk cengkeh, kacang mete dan vanili dan
mencabut kuota yang membatasi penjualan ternak.
g. e) Promosi Ekspor
Dalam situasi permintaan dalam negeri yang menurun, maka wahana untuk
memulihkan kembali perekonomian Indonesia adalah melalui promosi
ekspor. Tambahan pula dengan nilai tukar rupiah yang terdepresiasi
tinggi dewasa ini, Indonesia makin memiliki daya saing dalam barang
ekspor yang padat karya dan padat kekayaan alam. Namun peningkatan
ekspor dewasa ini dihadapkan kepada beberapa kendala, yakni keengganan
pihak luar negeri membeli barang Indonesia, ketiadaan bahan baku, serta
hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan ekspor, seperti misalnya
operasi pelabuhan, kecepatan kerja, bea dan cukai, dan administrasi
perpajakan.
Keengganan pembeli luar negeri untuk merencanakan pembelian terhadap
produk industry manufaktur Indonesia, antara lain, disebabkan oleh
kekhawatiran mereka atas
ketidakmampuan para pengusaha Indonesia untuk dapat memenuhi pesanan
tersebut tepat waktu. Hal ini erat kaitannya dengan permasalahan sosial
politik yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Dengan demikian dalam
upaya untuk mendorong ekspor, upaya terwujudnya stabilitas sosial
politik sangatlah penting.
Kesepakatan Frankfurt akan berdampak positif bagi penyediaan bahan baku
impor yang dibutuhkan untuk memperlancar kegiatan produksi yang
berorientasi ekspor. Selain itu mulai bulan Juli 1998 Bank Indonesia
mengadakan program jaminan pre-shipment kepada eksportir yang sudah
memperoleh L/C dari luar negeri untuk memperlancar impor bahan baku yang
diperlukan dan untuk pembiayaan ekspor pre-shipment. Sementara itu
untuk memperoleh modal kerja kebijaksanaan yang ditetapkan ada kaitannya
dengan restrukturisasi dunia perbankan, dunia usaha, dan
restrukturisasi pinjaman dunia usaha terhadap perbankan dalam negeri.
referensi : Google dan Wikipedia