Jumat, 13 Juni 2014



REFORMASI PEREKONOMIAN INDONESIA
Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik secara konstitusional. Artinya, adanya perubahan kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya yang lebih baik, demokratis berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Gerakan reformasi lahir sebagai jawaban atas krisis yang melanda berbagai segi kehidupan. Krisis politik, ekonomi, hukum, dan krisis sosial merupakan faktorfaktor yang mendorong lahirnya gerakan reformasi. Bahkan, krisis kepercayaan telah menjadi salah satu indikator yang menentukan. Reformasi dipandang sebagai gerakan yang tidak boleh ditawar- tawar lagi dan karena itu, hampir seluruh rakyat Indonesia mendukung sepenuhnya gerakan reformasi tersebut.
Dengan semangat reformasi, rakyat Indonesia menghendaki adanya pergantian kepemimpinan nasional sebagai langkah awal menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Pergantian kepemimpinan nasional diharapkan dapat memperbaiki kehidupan politik, ekonomi, hukum, sosial, dan budaya. Indoenesia harus dipimpin oleh orang yang memiliki kepedulian terhadap kesulitan dan penderitaan rakyat.
A.    Krisis finansial Asia
Krisis moneter yang melanda Negara-negara di Asia Tenggara sejak bulan Juli 1996, juga mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ekonomi Indonesia ternyata belum mampu untuk menghadapi krisi global tersebut. Krisi ekonomi Indonesia berawal dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
Ketika nilai tukar rupiah semakin melemah, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0% dan berakibat pada iklim bisnis yang semakin bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami keterpurukan yaitu dengan dilikuidasainya sejumlah bank pada akhir tahun 1997. Sementara itu untuk membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (KLBI). Ternyata udaha yang dilakukan pemerintah ini tidak dapat memberikan hasil, karena pinjaman bank-bank bermasalah tersebut semakin bertambah besar dan tidak dapat di kembalikan begitu saja.
Krisis moneter tidak hanya menimbulkan kesulitan keuangan Negara, tetapi juga telah menghancurkan keuangan nasional.
Memasuki tahun anggaran 1998 / 1999, krisis moneter telah mempengaruhi aktivitas ekonomi yang lainnya. Kondisi perekonomian semakin memburuk, karena pada akhir tahun 1997 persedian sembilan bahan pokok sembako di pasaran mulai menipis. Hal ini menyebabkan harga-harga barang naik tidak terkendali. Kelaparan dan kekurangan makanan mulai melanda masyarakat. Untuk mengatasi kesulitan moneter, pemerintah meminta bantuan IMF. Namun, kucuran dana dari IMF yang sangat di harapkan oleh pemerintah belum terelisasi, walaupun pada 15 januari 1998 Indonesia telah menandatangani 50 butir kesepakatan (letter of intent atau Lol) dengan IMF.
Faktor lain yang menyebabkan krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak terlepas dari masalah utang luar negeri.
Utang Luar Negeri Indonesia Utang luar negeri Indonesia menjadi salah satu faktor penyebab munculnya krisis ekonomi. Namun, utang luar negeri Indonesia tidak sepenuhnya merupakan utang Negara, tetapi sebagian lagi merupakan utang swasta. Utang yang menjadi tanggungan Negara hingga 6 februari 1998 mencapai 63,462 miliar dollar Amerika Serikat, utang pihak swasta mencapai 73,962 miliar dollar Amerika Serikat.
Akibat dari utang-utang tersebut maka kepercayaan luar negeri terhadap Indonesia semakin menipis. Keadaan seperti ini juga dipengaruhi oleh keadaan perbankan di Indonesia yang di anggap tidak sehat karena adanya kolusi dan korupsi serta tingginya kredit macet.
Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945 Pemerintah Orde Baru mempunyai tujuan menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai Negara industri, namun tidak mempertimbangkan kondisi riil di masyarakat. Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat agrasis dan tingkat pendidikan yang masih rendah.
Sementara itu, pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru sudah jauh menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila. Dalam Pasal 33 UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Sebaliknya, sistem ekonomi yang berkembang pada masa pemerintahan Orde Baru adalah sistem ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli, oligopoly, dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.
Pola Pemerintahan Sentralistis Sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru bersifat sentralistis. Di dalam pelaksanaan pola pemerintahan sentralistis ini semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara diatur secara sentral dari pusat pemerintah yakni di Jakarta.
Pelaksanaan politik sentralisasi yang sangat menyolok terlihat pada bidang ekonomi. Ini terlihat dari sebagian besar kekayaan dari daerah-daerah diangkut ke pusat. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan pemerintah dan rakyat di daerah terhadap pemerintah pusat. Politik sentralisasi ini juga dapat dilihat dari pola pemberitaan pers yang bersifat Jakarta-sentris, karena pemberitaan yang berasala dari Jakarta selalu menjadi berita utama. Namun peristiwa yang terjadi di daerah yang kurang kaitannya dengan kepentingan pusat biasanya kalah bersaing dengan berita-barita yang terjadi di Jakarta dalam merebut ruang, halaman, walaupun yang memberitakan itu pers daerah.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi, seperti:
1)      Hutang luar negeri
Indonesia yang sangat besar menjadi penyebab terjadinyakrisis ekonomi. Meskipun, hutang itu bukan sepenuhnya hutang negara, tetapisangat besar pengaruhnya terhadap upaya-upaya untuk mengatasi krisis ekonomi.
2)      Industrialisasi
pemerintah Orde Baru ingin menjadikan negara RI sebagai negaraindustri. Keinginan itu tidak sesuai dengan kondisi nyata masyarakat Indonesia.Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat agraris dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah (rata-rata).
3)       Pemerintahan Sentralistik
pemerintahan Orde Baru sangat sentralistik sifatnyasehingga semua kebijakan ditentukan dari Jakarta. Oleh karena itu, peranan pemerintah pusat sangat menentukan dan pemerintah daerah hanya sebagaikepanjangan tangan pemerintah pusat
B.     Kebijaksanaan Pemerintah Mengatasi Krisis
Krisis ekonomi dengan berbagai dampak negatif sebagaimana telah diuraikan di atas, secara serius telah diupayakan untuk diatasi dengan melaksanakan kebijaksanaan ekonomi baik yang bersifat makro maupun mikro. Dalam jangka pendek kebijaksanaan ekonomi tersebut memiliki dua sasaran strategis, yaitu pertama, mengurangi dampak negatif dari krisis tersebut terhadap kelompok penduduk berpendapatan rendah dan rentan; dan kedua, pemulihan pembangunan ekonomi ke jalur petumbuhan yang tinggi. Kedua tugas tersebut sangat penting antara lain karena:
1.       Meluasnya pengangguran akibat krisis yang terjadi di satu pihak dapat memicu timbulnya kerusuhan sosial, sementara di lain pihak apabila berlangsung lama dapat menurunkan daya saing angkatan kerja, karena mereka tidak mampu lagi menguasai perkembangan ketrampilan baru yang sangat diperlukan.
2.      Kapasitas produksi baik pada industri pengolahan maupun sarana dan prasarana pengangkutan, komunikasi, serta energi yang menganggur tanpa pemeliharaan yang baik akan menjadi rusak.
3.      Meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok dan barang-barang lainnya secara berlanjut, pada gilirannya akan menambah jumlah penduduk miskin karena daya beli mereka akan terus merosot.
4.      Kemunduran dalam pelaksanaan program pendidikan dan kesehatan terutama bagi putraputri penduduk berpendapatan rendah, akan mengganggu upaya pemberdayaan kelompok penduduk tersebut di masa datang.
1. Kebijaksanaan Ekonomi Makro
Kebijaksanaan ekonomi makro yang telah dilaksanakan pemerintah dalam upaya menekan laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing adalah melalui kebijaksanaan moneter yang ketat disertai anggaran berimbang, dengan membatasi deficit anggaran sampai pada tingkat yang dapat diimbangi dengan tambahan dana dari luar negeri. Kebijaksanaan moneter yang ketat dengan tingkat bunga yang tinggi selain dimaksudkan untuk menekan laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, dengan menahan naiknya permintaan aggregat, juga untuk mendorong masyarakat meningkatkan tabungan di sektor perbankan.
Meskipun demikian pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa tingkat bunga tinggi dapat menjadi salah satu faktor terpenting yang akan berdampak negatif terhadap kegiatan ekonomi atau bersifat kontraktif terhadap perkembangan PDB. Oleh karena itu tingkat bunga yang tinggi tidak akan selamanya dipertahankan, tetapi secara bertahap akan diturunkan pada tingkat yang wajar seiring dengan menurunnya laju inflasi.
2. Kebijaksanaan Ekonomi Mikro
Kebijaksanaan ekonomi mikro yang ditempuh pemerintah, ditujukan, antara lain:
a.       untuk mengurangi dampak negatif dari krisis ekonomi terhadap kelompok penduduk berpendapatan rendah dikembangkannya jaring pengaman sosial yang meliputi program  penyediaan kebutuhan pokok dengan harga terjangkau, mempertahankan tingkat pelayanan pendidikan dan kesehatan pada tingkat sebelum krisis serta penanganan pengangguran dalam upaya mempertahankan daya beli kelompok masyarakat berpendapatan rendah;
b.      sistem perbankan dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan lembaga perbankan;
c.       merestrukturisasi hutang luar negeri;
d.      mereformasi struktural di sektor riil; dan
e.       mendorong ekspor.
a)      Jaring Pengaman Sosial
Dalam kaitan ini berbagai langkah telah dilakukan untuk menambah alokasi anggaran rutin (khususnya untuk subsidi bahan bakar minyak, listrik dan berbagai jenis makanan kebutuhan pokok), mempertajam prioritas alokasi dan meningkatkan efisiensi anggaran pembangunan.
Hal ini dilakukan melalui peninjauan kembali terhadap program dan kegiatan proyek pembangunan, antara lain, dengan:
1.      menunda proyek-proyek dan kegiatan pembangunan yang belum mendesak;
2.      melakukan realokasi dan menyediakan tambahan anggaran untuk bidang pendidikan dan kesehatan;
3.      memperluas penciptaan kerja dan kesempatan kerja bagi mereka yang kehilangan pekerjaan, yang dikaitkan dengan peningkatan produksi bahan makanan serta perbaikan dan pemeliharaan prasarana ekonomi, misalnya jalan dan irigasi, yang dapat memperlancar kegiatan ekonomi; dan
4.      memperbaiki sistem distribusi agar berfungsi secara penuh dan efisien yang sekaligus meningkatkan partisipasi peranan pengusaha kecil, menengah, dan koperasi.
Sebagai akibat dari peninjauan kembali seluruh program dan kegiatan proyek pembangunan, total anggaran dalam revisi APBN untuk sektor pertanian, pengairan, perdagangan dan pengembangan usaha, pembangunan daerah, pendidikan, kesehatan, perumahan dan permukiman, dalam tahun anggaran 1998/99 tidak hanya mengalami peningkatan yang cukup besar dibandingkan dengan APBN sebelum revisi, tapi secara riil juga lebih besar dari realisasi anggaran pembangunan tahun 1997/98, sedangkan alokasi anggaran pembangunan untuk sektor lainnya secara riil mengalami penurunan.
Implikasi dari pelaksanaan program jaring pengaman sosial yang disertai langkah
penyesuaian untuk mempertajam prioritas alokasi dan peningkatan efisiensi anggaran
pembangunan, pemerintah tidak dapat menghindari terjadinya defisit yang sangat besar,
lebih kurang 8,5 persen terhadap PDB, dalam revisi APBN 1998/99. Hal ini disebabkan oleh karena penerimaan dalam negeri dalam kondisi kontraksi PDB serta menurunnya harga migas di pasar internasional sangat sulit untuk dapat ditingkatkan, walaupun sudah termasuk adanya divestasi dalam BUMN.
Pemerintah sangat menyadari bahwa defisit APBN sebesar 8,5 persen terhadap PDB tidak sustainable, itulah sebabnya akan diupayakan untuk menurunkannya minimal menjadi setengahnya pada tahun 1999/2000 dan mengembalikan anggaran menjadi berimbang dalam jangka waktu 3 tahun. Sehubungan dengan ini akan terus dikaji langkah-langkah untuk menetapkan pemberian subsidi yang lebih tepat dan pelaksanaan program lain dalam kerangka jaring pengaman sosial. Pemantauan dan evaluasi program penciptaan lapangan kerja serta program di bidang pendidikan dan kesehatan akan terus disempurnakan agar dapat dipastikan bahwa yang memperoleh manfaat terutama adalah penduduk miskin.
Di samping itu peningkatan kinerja penerimaan negara dan manajemen pengeluaran Negara akan merupakan unsur terpenting dalam upaya menekan defisit anggaran. Dalam kaitannya dengan upaya memperkuat manajemen pengeluaran, akan disusun kerangka prioritas dalam pengeluaran negara yang lebih jelas, persiapan penyusunan anggaran yang lebih efisien, kontrol manajemen kas, serta penyusunan laporan yang komprehensif, akurat dan tepat waktu.
Penerimaan negara dari perpajakan diupayakan untuk ditingkatkan dengan menghilangkan berbagai bentuk pengecualian terhadap pengenaan pajak pertambahan nilai; meningkatkan nilai jual objek pajak atas PBB (pajak bumi dan bangunan) sektor perkebunan dan kehutanan serta meningkatkan pendapatan pajak bukan migas melalui peningkatan cakupan audit tahunan, penyempurnaan program audit PPN dan peningkatan penerimaan tunggakan pajak. Sementara itu upaya meningkatkan penerimaan bukan pajak mencakup pengumpulan dana oleh pemerintah di luar anggaran serta meningkatkan kinerja BUMN dengan privatisasi dan peningkatan dalam manajemennya.
b) Penyehatan Sistem Perbankan
Untuk menggerakkan kembali roda perekonomian dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional, langkah-langkah mendasar dari kebijakan penyehatan dan restrukturisasi perbankan pada dasarnya terdiri dari dua kebijakan pokok, yaitu:
1.      Kebijakan untuk membangun kembali sistem perbankan yang sehat guna mendukung pemulihan dan kebangkitan perekonomian nasional melalui:
a.       program peningkatan permodalan bank,
b.      penyempurnaan peraturan perundang-undangan, antara lain, mencakup:
1. perizinan bank yang semula merupakan wewenang Departemen Kuangan dialihkan kepada    Bank Indonesia.
2.     investor asing diberikan kesempatan yang lebih besar untuk menjadi pemegang saham bank.
3.  rahasia bank yang semula mencakup sisi aktiva dan pasiva diubah menjadi hanya mencakup  nasabah penyimpan dan simpanannya.
c.       penyempurnaan dan penegakkan ketentuan kehati-hatian, antara lain:
i.                    Bank-bank diwajibkan untuk menyediakan modal minimum (Capital Adequacy Ratio) sebesar 4% pada akhir tahun 1998, 8% pada akhir tahun 1999, dan 10% pada akhir tahun 2000, sebagaimana telah diumumkan pemerintah pada bulan Juni 1998.
ii.                Melakukan tindakan hukum yang lebih tegas terhadap pemilik dan pengurus bank yang terbukti telah melanggar ketentuan yang berlaku.
2.      Kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan perbankan yang telah terjadi dengan mempercepat pelaksanaan penyehatan perbankan. Langkah-langkah yang telah dan akan ditempuh dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi, membangun kembali sistem perbankan yang sehat, dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, antara lain, meliputi:
a.       Pemberian jaminan pembayaran kepada deposan dan kreditur;
b.      pembentukan Badan Penyehatan. Perbankan Nasional (BPPN) yang bertugas untuk melakukan restrukturisasi bank-bank yang kurang atau tidak sehat;
c.       melakukan due diligence terhadap bank-bank yang diambil alih pengelolaannya dan terhadap bank-bank lainnya; dan
d.      menyusun RUU perbankan yang akan mengatur kembali ketentuan mengenai kerahasian bank, pengawasan, pemilikan investor asing, dan kedudukan BPPN serta bank sentral.
Dengan kebijaksanaan tersebut di atas diharapkan kinerja perbankan nasional menjadi
lebih sehat dan efisien sehingga terpercaya serta mampu menjadi bank yang dikelola
secara profesional terutama dalam menghadapi era globalisasi yang menuntut daya
saing tinggi.
c) Restrukturisasi Hutang Luar Negeri
Hutang luar negeri swasta dan pinjaman antar bank-bank yang besar telah menjadi penyebab terpenting terhadap melemahnya nilai tukar rupiah. Hutang-hutang tersebut dalam tahun 1998/1999 akan jatuh tempo dalam jumlah yang besar. Padahal melemahnya nilai tukar rupiah yang terus berlanjut akan semakin memperburuk kondisi perekonomian nasional. Oleh karena itu untuk mengurangi permintaan terhadap mata uang asing dan sekaligus memberi kesempatan kepada para debitur untuk menyelesaikan hutang-hutangnya, dalam kesepakatan Frankfrut tanggal 4 Juni 1998, telah disusun kerangka restrukturisasi hutang dunia usaha, skema penyelesaian hutang antar bank dan pengaturan tentang fasilitas pembiayaan perdagangan.
Dalam kesepakatan tersebut para kreditur dan debitur secara sukarela dapat menyepakati jumlah hutang dan perubahan pinjaman menjadi equity, dan ada persyaratan minimal masa pengembalian 8 tahun termasuk masa tenggang 3 tahun, maka dilihat dari upaya penguatan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, berarti restrukturisasi hutang swasta dan perbankan tersebut minimal dapat mengurangi permintaan valuta asing selama 3 tahun. Untuk mendorong penyelesaian hutang swasta telah diluncurkan Prakarsa Jakarta yang memungkinkan para kreditur dan debitur menyelesaikan hutang piutang di luar pengadilan niaga, yaitu melalui restrukturisasi modal perusahaan.
Restrukturisasi hutang luar negeri swasta dan pinjaman antar bank di Indonesia serta penambahan dana luar negeri baik yang berasal dari CGI maupun tambahan dana dari IMF telah dapat meningkatkan sisi penyediaan valuta asing. Sebagai konsekuensi interaksi antara naiknya persediaan dengan turunnya permintaan valuta asing tersebut diharapkan dapat menguatkan nilai tukar rupiah, yang pada gilirannya juga akan menurunkan laju inflasi. Untuk kepentingan itulah dan untuk menarik modal asing masuk ke Indonesia maka pemerintah hingga saat ini masih mempertahankan kebijaksanaan lalulintas devisa dengan sistem devisa bebas.
Sementara itu untuk mengurangi tekanan terhadap keuangan negara dan
neraca pembayaran luar negeri, melalui Paris Club, Indonesia telah melakukan penjadwalan kembali hutang pemerintah untuk tahun 1998/1999 – 1999/2000. Dalam rangka itu pemerintah telah berhasil menunda pembayaran cicilan pokok sebesar US dollar 4,2 miliar.
d) Reformasi Struktural di Sektor Riil
Agar perekonomian, terutama sektor riil dapat berkembang lebih efisien, pemerintah melancarkan berbagai program reformasi struktural. Reformasi struktural di sektor riil mencakup:
a.       penghapusan berbagai praktek monopoli,
b.      deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang, termasuk bidang perdagangan dalam dan luar negeri dan bidang investasi, dan
c.       privatisasi BUMN.
Meskipun perekonomian nasional sebelum krisis ekonomi mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, tetapi ternyata terdapat kelemahan-kelemahan, antara lain, adanya praktek praktek monopoli di berbagai bidang usaha. Dengan praktek-praktek monopoli telah terjadi konsentrasi kekuatan pasar hanya pada satu atau beberapa pelaku usaha, sehingga kegiatan produksi, distribusi menjadi tidak efisien dan secara lebih luas daya saing perekonomian nasional menjadi lemah.
Kebijaksanaan penghapusan monopoli yang telah dan akan dilakukan, antara lain adalah: penghapusan monopoli yang dilakukan oleh Bulog dalam mengimpor dan penyaluran barang-barang kebutuhan pokok masyarakat seperti minyak goreng, gula pasir, terigu, dan jagung, sehingga Bulog hanya akan menyalurkan beras; penghapusan BPPC; penghapusan kegiatan usaha yang terintegrasi secara vertikal atau horizontal, monopoli produksi minyak pelumas oleh Pertamina dan lain-lain. Dalam upaya menghapus monopoli tersebut pemerintah telah mengajukan ke DPR RUU tentang persaingan yang sehat. Dengan adanya penghapusan monopoli diharapkan ekonomi biaya tinggi bisa dihindarkan sehingga bisa meningkatkan daya saing perekonomian nasional.
Dengan hapusnya monopoli, masyarakat juga diuntungkan sebab akan memperoleh
barang dengan kualitas yang lebih baik dengan harga yang lebih murah. Dalam kaitannya dengan deregulasi dan debirokratisasi di berbagai bidang, antara lain, mencakup:
a.       mencabut peraturan yang membatasi kepemilikan investor asing sampai 49 persen dari perusahaan-perusahaan yang telah terdaftar pada pasar modal;
b.      merevisi daftar negatif investasi dengan pengurangan jumlah bidang usaha yang tertutup bagi investor asing;
c.       mencabut pembatasan investasi asing dalam perkebunan kelapa sawit, dalam perdagangan eceran dan dalam perdagangan besar;
d.      mencabut ketentuan tataniaga yang bersifat restriktif untuk pemasaran semen, kertas dan kayu lapis;
e.       menghapus harga patokan semen (HPS); dan
f.       menerapkan perdagangan bebas lintas batas Dati I dan Dati II untuk semua komoditas termasuk cengkeh, kacang mete dan vanili dan mencabut kuota yang membatasi penjualan ternak.
g.      e) Promosi Ekspor
Dalam situasi permintaan dalam negeri yang menurun, maka wahana untuk memulihkan kembali perekonomian Indonesia adalah melalui promosi ekspor. Tambahan pula dengan nilai tukar rupiah yang terdepresiasi tinggi dewasa ini, Indonesia makin memiliki daya saing dalam barang ekspor yang padat karya dan padat kekayaan alam. Namun peningkatan ekspor dewasa ini dihadapkan kepada beberapa kendala, yakni keengganan pihak luar negeri membeli barang Indonesia, ketiadaan bahan baku, serta hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan ekspor, seperti misalnya operasi pelabuhan, kecepatan kerja, bea dan cukai, dan administrasi perpajakan.
Keengganan pembeli luar negeri untuk merencanakan pembelian terhadap produk industry manufaktur Indonesia, antara lain, disebabkan oleh kekhawatiran mereka atas
ketidakmampuan para pengusaha Indonesia untuk dapat memenuhi pesanan tersebut tepat waktu. Hal ini erat kaitannya dengan permasalahan sosial politik yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Dengan demikian dalam upaya untuk mendorong ekspor, upaya terwujudnya stabilitas sosial politik sangatlah penting.
Kesepakatan Frankfurt akan berdampak positif bagi penyediaan bahan baku impor yang dibutuhkan untuk memperlancar kegiatan produksi yang berorientasi ekspor. Selain itu mulai bulan Juli 1998 Bank Indonesia mengadakan program jaminan pre-shipment kepada eksportir yang sudah memperoleh L/C dari luar negeri untuk memperlancar impor bahan baku yang diperlukan dan untuk pembiayaan ekspor pre-shipment. Sementara itu untuk memperoleh modal kerja kebijaksanaan yang ditetapkan ada kaitannya dengan restrukturisasi dunia perbankan, dunia usaha, dan restrukturisasi pinjaman dunia usaha terhadap perbankan dalam negeri.

referensi  : Google dan Wikipedia

0 komentar:

Posting Komentar