Harapan baru Pemilu 2014
Proses demokrasi pasca Orde Baru yang sudah 16 tahun
berjalan ini telah semakin jauh meninggalkan cita-cita reformasi. Perubahan
sistem politik yang dilakukan hanya semakin memperkokoh dominasi partai politik
yang sayangnya haus akan kekuasaan. Selama itu juga, kita seakan kesulitan
mencari sosok wakil rakyat yang benar-benar memiliki hati untuk merasakan
penderitaan rakyat. Amanah yang mereka dapat dari rakyat dipergunakan untuk
memperkaya diri sendiri serta kroni-kroninya. Demokrasi selama 15 tahun ini,
ternyata hanyalah menghasilkan politik transaksional, kita melihat prilaku kaum
elit dan pejabat publik yang meninggalkan moral dan membajak kedaulatan rakyat
yang diamanahkan oleh konstitusi.
Melihat pengalaman tersebut tentu proses pemilu kali
ini menjadi harapan kita semua untuk menciptakan utusan-utusan rakyat yang
berkualitas dari semua aspek. Banyaknya kontestan yang mencoba peruntungan pada
pemilu kali ini, menjadi kesempatan kita untuk dapat merubah pola interaksi
yang awalnya didominasi kepentingan sepihak para politisi partai menjadi pola
interaksi yang setara dan aspiratif yang benar-benar memperjuangkan kepentingan
rakyat.
Berbagai harapan kita atas peningkatan kesejahteraan,
penurunan angka kemiskinan, pendidikan gratis, jaminan kesehatan berkualitas
dan murah, penurunan angka korupsi, lahan untuk petani dan lain sebagainya,
tidak lagi menjadi harapan semu yang diberikan oleh parpol. Rakyat sekarang
sudah saatnya berperan menjadi subjek dalam setiap perubahan politik, dimana
suara harapan dan perbaikan datang langsung dari rakyat dan tidak lagi
dikendalikan oleh elit-elit partai. Momentum ini tidak boleh hilang, sudah
saatnya lewat Pemilu 2014 ini kita menghukum elit-elit politik yang terbukti
mengkhianati mandat rakyat untuk tidak dipilih kembali.
Ada beberapa hal yang dapat kita gantungkan di Pemilu
2014 sebagai harapan memperbaiki 16 tahun transisi demokrasi di Republik ini. Pertama,
rakyat sudah semakin terdidik dan melek politik. Hal ini akan menjadi
modal penting dalam menyeleksi wakil-wakil rakyat yang akan duduk nantinya.
Rakyat sekarang sudah semakin cerdas untuk dapat menilai mana yang bisa bekerja
untuk rakyat dan mana yang bukan. Ada sebuah fenomena menarik, sekarang rakyat
tidak lagi memilih berdasarkan pertimbangan partai, tetapi individu yang
diusung partai. Di sisi lain konsekuensi dari semakin waras dan rasionalnya
rakyat, tingkat calon golput diprediksi akan naik karena mayoritas caleg adalah
tunaprestasi.
Kedua, keterbukaan informasi. Di era digital sekarang ini,
setiap orang dapat mengakses informasi dimana saja dan kapan saja tanpa
hambatan. Cepatnya arus informasi didukung pula oleh perkembangan jaringan
sosial media memberikan ruang yang selebar-lebarnya untuk kebebasan berekspresi
dan menyajikan informasi-informasi tanpa takut disensor. Sehingga kita dapat
dengan mudah menilai track record elit-elit politik yang tidak bekerja
sepenuhnya untuk rakyat. Ketiga, munculnya calon-calon alternatif yang
memiliki komitmen kerakyatan dan kebangsaan. Harus diakui dominasi wajah-wajah
lama yang tunaprestasi masih menghiasi kertas suara. Akan tetapi, nama-nama
wakil rakyat yang memiliki komitmen kerakyatan dan idealisme juga hadir sebagai
pengisi dahaga harapan kita. Meskipun, banyak yang mengatakan ini diibaratkan
seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Akhirnya, harapan untuk menghadirkan pemilu
partisipatif untuk mencapai cita-cita kedaulatan rakyat dapat kita gantungkan
pada momentum Pemilu 2014. Agar, usaha-usaha untuk melakukan perbaikan atas
kerusakan politik dapat terus dilakukan oleh orang-orang yang berintegritas.
Saya sendiri berharap pemilu tahun ini bisa mengurangi GOLPUT, karena 1 suara pun sangat penting untuk menentukan masa depan bangsa Indonesia,
Referensi Kompas.com